Senin, 18 Februari 2013

TEMU ALUMNI 17022013



  1. Pertanyaan: Batasan seorang anak masih disebut yatim piatu itu sampai kapan? (Kang Najmudin, Subang)

    Jawaban:
    Di dalam Al-Qomusul Muhith, karangan Syekh Najmuddin Muhammad bin Ya’kub Al-Firuzabadi
    وَهُوَ يَتِيْمٌ وَيَتَمَانُ مَالَمْ يَبْلُغْ الحُكْمُ
    “Dia itu yatim dan yatiman selama belum mencapai dewasa.” (Taudihul Adillah Juz 6 hlm. 116).

    Ibnu Barry berkata:
    اليَتِيْمُ الَّذِيْ يَمُوْتُ أَبُوهُ وَالعَجِيُّ العَجِيُّ الَّذِيْ تَمُوتُ أُمُّهُ واللَّطِيْمُ الَّذِيْ يَمُوْتُ أُبَوَاهُ
    “Yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya. ‘Ajiy (piatu) adalah anak-anak yang ditinggal mati ibunya sedangkan Al-Lathim (yatim-piatu) adalah anak yang ditinggal ibu bapaknya.” (Taudihul Adillah Juz 5 hlm. 38).
    Dalam kitab tafsir Al-Khozin Juz 1 hlm 123 dinyatakan:
    (واليَتَامَى) الَيَتِيْمُ هُوَ الَّذِيْ لاَ أَب لَه مَعَ الصِّغَرِ
    “(Al-Yataamaa) jamaknya Al-Yatim adalah orang yang tidak berbapak dan ia masih kecil.”

    Ada beberapa petunjuk Al-Qur’an dan hadits mengenai batasan anak yatim diantaranya:
    >> Firman Allah yang termaktub di surat An-Nisaa ayat 6 yang artinya (Allah Wa Rasuluhu A’lam): Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”

    >> Hadits Nabi Saw:
    عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ (رواه أبو داود وغير)
    Dari Shohabat Ali ra, dari Nabi saw Beliau bersabda: Qalam catatan amal itu diangkat dari tiga golongan: (1) dari orang yang tidur hingga ia bangun, (2) dari anak kecil hingga ia baligh (dewasa) dan (3) dari orang yang gila hingga ia berakal.” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya)
    Dalam kitab Kaasyifati Assaja hlm. 16 dinyatakan:
    (فصل) عَلاَماَتُ الْبُلُوْغِ ثَلاَثٌ تَمَامُ خَمْسَ عَشَرَةَ سَنَةً فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى، وَالْاِحْتِلاَمُ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَي لِتِسْعِ سِنِيْنَ وَالْحَيْضُ فِي الْأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِيْنَ
    “(faslun) ciri-ciri baligh itu salah satu dari yang tiga yaitu: (1) sempurnanya berumur 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan, (2) bermimpi keluar mani, bagi laki-laki dan perempuan karena sudah berumur sembilan tahun, atau (3) haid bagi perempuan karena sudah berumur sembilan tahun.”

  2. Pertanyaan: Apakah esensi zina itu? (Abdullah, Subang)

    Jawaban:
    Di dalam Islam ada beberapa istilah untuk hubungan biologis, ada yang disebut jima’ (wathi), liwath (homo seks atau lesbian), zina, ityaanul bahaim dan lain-lain.
    Zina di dalam kitab Kifayatul Akhyaar fii Hilli Ghoyati Al-Ikhtishor Juz II hlm. 178 dikatakan:
    الزِّنَا مِنَ الْكَبَائِرِ وَمُوْجِبٌ لِلْحَدِّ وَهُوَ مَقْصُوْرٌ وَقَدْ يُحَدُّ. وَضَابِطُ مَا يُوْجِبُ الْحَدَّ هُوَ اِيْلاَجُ قَدْرِ الْحَشَفَةِ مِنَ الذَّكَرِ فِيْ فَرْجِ مُحَرَّمٍ مَشْتَهَى طَبْعًا لاَشِبْهَةَ فِيْهِ
    “Zina termasuk dosa besar dan mewajibkan untuk dihad. Zina itu terkadang berma’na sempit, terkadang berm’na luas. Definisi zina yang mewajibkan dihad adalah memasukkan seukuran hasyafahnya zakar (penis) ke farji (alat kelamin perempuan) yang diharamkan, yang secara tabiat umum itu diingini dan tidak terjadi syubhat (tidak wathi syubhat).”
    Diantara ma’na zina yang meluas adalah dosa-dosa yang dilakukan anggota badan yang berkaitan dengan lawan jenis seperti zina mata, zina tangan, dan lain-lain yang secara umum di kitab Sulam At-Taufiq disebut “ma’aashi” (maksiat).
    Jadi esensi zina adalah “hawa nafsu” ke lawan jenis yang diharamkan. Perhatikan firman Allah yang termaktub di surat Al-Israa ayat 32 yang artinya (Allah Wa Rasuluhu A’lam): “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar